WEBINAR #2 Melampaui Biennale: Kerja-kerja Yang Tak Selalu Tampak

Perhelatan dua-tahunan berbasis pameran ini kerap jadi acuan untuk perkembangan praktik seni rupa terkini dari suatu kota, wilayah, atau dunia. Tak heran, kalau ingatan orang terhadap suatu penyelenggaraan biennale cenderung berlandasan pada citra-citra spektakuler atau keramaian bombastis yang mengitarinya. Setidaknya dua dekade terakhir ini, sejumlah perhelatan biennale mulai mengambil tanggung jawab yang lebih dari sekadar menghadirkan penanda-penanda perubahan praktik seni rupa termutakhir. Sejak 2009, Jakarta Biennale telah berupaya mengaji ulang siapa publiknya, memperluas publiknya, mempertajam keberpihakannya terhadap jenis-jenis praktik yang dipinggirkan industri karena kebutuhan perwakilan identitas politik yang cenderung tergantung pada pasar maupun wacana. Menuju ke perhelatan Jakarta Biennale 2021: ESOK, kami ingin mengaji beragam upaya melampaui spektakel perhelatan yang telah ditempuh oleh edisi-edisi terdahulu, setidaknya satu dekade terakhir. Untuk itu, kami akan memulainya dengan dua sesi percakapan dengan para pekerja seni yang pernah turut menyelenggarakan Jakarta Biennale.

Didukung oleh KEMDIKBUD RI, kami bersama Dewan Kesenian Jakarta mempersembahkan serangkaian perbincangan dengan para pekerja seni yang pernah turut menyelenggarakan Jakarta Biennale. Acara ini berlangsung dalam 2 hari di kanal Youtube Jakarta Biennale.

Sesi I ‘Telusur, Ungkap, Kaji-ulang, dan Percaya Terhadap Praktik Artistik’
Kamis, 10 Desember 2020, 14.00-15.30 WIB, daring (dalam Bahasa Indonesia)

Sesi II ’Berpihak pada Publik’*
Jumat, 11 Desember 2020, 14.00-15.30, daring (dalam Bahasa Indonesia)

‘Telusur, Ungkap, Kaji-ulang, dan Percaya terhadap Praktik Artistik’

Melati Suryodarmo, Riksa Afiaty, Grace Samboh
Kamis, 10 Desember 2020, 14.00-15.30 WIB, daring
(dalam Bahasa Indonesia)

Grace Samboh akan memandu percakapan antara Melati Suryodarmo yang akan mengisahkan kerja di balik presentasi retrospektif Hendrawan Riyanto (1959-2004) pada JB 2017 dan Riksa Afiaty yang melanjutkan kerja pendokumentasi, penelusuran, dan pemetaan kekaryaan Surya Wirawan (l. 1973) pasca presentasinya dalam JB 2015.

Melati Suryodarmo adalah seorang seniman yang tinggal dan bekerja di Surakarta. Karya-karyanya adalah hasil dari riset akan pergerakan tubuh dan hubungannya dengan diri dan dunia. Hal ini diterjemahkan ke dalam fotografi, koreografi tari, video, dan pertunjukkan. Ia adalah Direktur Artistik Jakarta Biennale 2017: JIWA.

Grace Samboh tidak bisa duduk diam karena punya terlalu banyak pertanyaan. Selain tergabung dalam Hyphen — dan RUBANAH Underground Hub (Jakarta), ia juga sedang berusaha meneruskan pendidikan doktoralnya di jurusan Kajian Seni dan Masyarakat, Universitas Sanata Dharma. Ia adalah anggota Tim Kurator Jakarta Biennale 2021: ESOK.

Riksa Afiaty adalah kurator yang tinggal di Yogyakarta. Praktek kerjanya berfokus pada isu dekolonialitas sebagai kerangka kuratorial dan turunannya yang bisa dimanifestasikan pada simposium, program publik dan riset. Ia adalah salah satu anggota Laboratorium Kurator Jakarta Biennale 2015: Maju Kena Mundur Kena.

‘Berpihak pada Publik’

Ardi Yunanto, Firman Ichsan, dan Grace Samboh
Jumat, 11 Desember 2020, 14.00-15.30, daring

Grace Samboh akan memandu percakapan antara Ardi Yunanto dan Firman Ichsan yang akan mengungkap ragam eksperimen pencarian bentuk hubungan dengan publik (JB 2009 dan JB 2013), karakter publik dari perspektif editorial (JB 2009, 2013, 2015), serta beragam ruang yang pernah dijelajahi bentuk serta kemungkinan keterlibatannya melalui sejummlah perhelatan Jakarta Biennale terdahulu tsb.

Ardi Yunanto adalah seorang editor, penulis, dan desainer lepas. Ia juga bekerja paruh waktu sebagai staf seni, media, dan komunikasi di Yayasan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; dan merupakan dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Ia beberapa kali terlibat dalam Jakarta Biennale, sebagai Kurator Ruang Publik Zona Pertarungan Jakarta Biennale 2009 ARE(N)A, Koordinator Publikasi (2013 dan 2015), dan sebagai editor buku bunga rampai esai seni rupa, “Melampaui Citra dan Ingatan” karya Bambang Bujono yang diterbitkan Jakarta Biennale pada 2017.

Firman Ichsan adalah fotografer, pelukis, dan pengajar yang aktif berpameran sejak tahun 1980-an. Ia adalah salah satu penggagas Zona Pemahaman Jakarta Biennale 2009 ARE(N)A sekaligus Ketua Dewan Kesenian Jakarta 2009-2012.

Grace Samboh percaya bahwa kerja kuratorial adalah memahami sekaligus membuat sesuatu pada waktu yang bersamaan. Klaim bahwa Indonesia kekurangan infrastruktur negara dianggapnya ketinggalan zaman. Ia bersijingkat peran dalam beragam elemen dan lembaga seni di sekitarnya sebagai peneliti, penulis, produser, dan kurator seni rupa. Ia adalah anggota Tim Kurator Jakarta Biennale 2021: ESOK.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *