ESOK….!
Di masa rezim militer Orde Baru, seni dilucuti dari komitmen etisnya, yaitu respons terhadap kenyataan-kenyataan sosial dan politik. Perguruan tinggi seni dipaksa untuk melulu mengajarkan keterampilan. Sebagai akibatnya, dihasilkanlah anak didik yang dapat disebut sebagai “pengabdi keindahan”. Sementara itu, realitas (sejarah) membombardirnya dengan masalah-masalah yang sama sekali tidak indah: Genosida 1965–66 dan berbagai kejahatan atas kemanusiaan, penghancuran hutan demi tambang dan kelapa sawit—termasuk perampasan tanah dan hutan ulayat, hukum yang tidak menjunjung keadilan, budaya suap dan korupsi, biaya pendidikan dan kesehatan yang tak terjangkau kaum miskin, ketidaksetaraan gender, diskriminasi terhadap para pemeluk aliran kepercayaan, penganiayaan terhadap etnis Tionghoa, kekerasan militer di Papua, pencaplokan Timor Leste, operasi militer di Aceh, pemberangusan media-media massa dan pemberedelan, pelarangan pentas teater, penculikan dan pembunuhan aktivis buruh dan aktivis prodemokrasi, dan seterusnya… silakan Anda tambahkan sendiri!
Di masa itu hanya segelintir seniman perupa yang menolak tunduk pada rezim militer Soeharto. Hari ini, di masa Reformasi, perguruan tinggi seni masih tetap saja menjalankan cara mendidik yang sama dan terus menghasilkan anak didik yang apolitis, maka ahistoris. Di masa ini ada sedikit perbaikan, ada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) dan kebebasan berpendapat sedikit lebih longgar. Namun, selebihnya tetap sama, bahkan lebih buruk.
Negara tetap saja melanggengkan perusakan alam dan ekologi melalui pertambangan (bahkan permintaan untuk batu bara bertambah), kelapa sawit, pabrik kertas, pabrik semen. Kejahatan atas kemanusiaan masa lalu tak diselesaikan, maka persekusi terhadap para korban kekerasan politik 1965–66 terus-menerus terjadi. Korupsi dan suap-menyuap semakin meluap. Perpecahan sosial akibat politik identitas justru beringas. Diskriminasi terhadap LGBTQ+. Perampasan tanah dan hutan ulayat tetap berlangsung. Kasus pembunuhan Munir tidak pernah dituntaskan. Pendekatan militeristik terus berlanjut di Papua. Undang-undang ITE membuat orang takut berpendapat. Maka, apatisme massal yang selama ini sudah terjadi semakin parah! Ideologi Pancasila warisan orde militer Soeharto yang bercirikan intoleran terhadap keberagaman politik dikemas baru, stigma anti Pancasila terus diobral!
Pandemi membuktikan dengan gamblang seberapa besar komitmen Negara terhadap kesehatan rakyatnya: presentase kematian akibat COVID-19, Indonesia menjadi juara dunia (saingannya hanyalah negara-negara termiskin di dunia), bocah stunting (usia 1–1.000 hari) mencapai 10 juta anak (estimasi UNESCO, Mei 2021, sekitar 31,8 persen), remaja usia 15–24 tahun yang menderita anemia mendekati 20 juta orang (laporan Riskesdas pada 2018, sebanyak 14,7 juta remaja atau 32 persen).
Sementara itu, jumlah orang dengan kekayaan bersih 1 juta dollar AS atau lebih bertambah 61,69 persen! (106.215 orang pada 2019, naik menjadi 171.740 orang pada 2020.) Dan jumlah orang dengan kekayaan di atas 100 juta dollar AS naik 22,29 persen, jumlahnya 417 orang (31 orang di antaranya memiliki kekayaan 1 miliar hingga puluhan miliar dolar AS!)
Inilah nasib sebuah negara yang didikte oleh oligarki, yang seluruh kebijakan publiknya dibuat demi mengamankan akumulasi pribadi dari segelintir orang/korporasi beserta sekutunya, para pemangku kekuasaan, dan para wakil rakyat.
Bicara mengenai etik adalah sepenuhnya bicara mengenai Hak Azasi Manusia, yaitu: hak untuk hidup yang melekat pada manusia sejak dari dalam kandungan ibu. Itu berarti etik seharusnya melekat pada seluruh sendi kehidupan: budaya, agama, politik, ilmu pengetahuan, seni beserta seluruh lembaga yang melingkupinya: universitas, rumah sakit, majelis ulama, ormas, kepolisian, militer, kehakiman, kejaksaan, korporasi, hingga lembaga kekuasaan tertinggi Negara!
Inti dari seluruh masalah adalah tidak adanya rasa hormat terhadap manusia dan alamnya. Negara tidak (tidak mau?) paham bahwa penghancuran ekologi adalah identik dengan penghancuran budaya. Dan budaya adalah sumber dari seluruh asal-usul kita sebagai manusia yang harus dihormati dan dilindungi!
Maka, Hak Azasi Manusia dan seluruh permasalahannya adalah landasan dari pameran Jakarta Biennale 2021 demi hari ESOK yang lebih manusiawi!
Semua perguruan tinggi seni harus mereposisikan diri dan memulihkan kedaulatan dan martabat seni yang selama ini dikerdilkan.
Bicara mengenai ESOK adalah bicara mengenai pembusukan yang terjadi hari ini!
Bicara mengenai ESOK adalah bicara mengenai perubahan dan untuk mewujudkannya seni harus berada di barisan terdepan!
Dolorosa Sinaga, direktur artistik