Sejarah Jakarta Biennale

Cikal-bakal Jakarta Biennale bermula dari berbagai perubahan seiring dengan gejolak kebaruan di Indonesia pada masa Orde Baru. Salah satu perubahan mendasar di dunia seni rupa Indonesia ditandai oleh kemunculan “Desember Hitam” pada 1974. “Desember Hitam” merupakan protes seniman muda Indonesia terhadap konsep estetika mapan yang diusung Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Insiden ini kemudian menginspirasi berbagai gerakan seni, seperti Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), dan mendorong adanya kebutuhan untuk menentukan parameter baru perkembangan seni rupa Indonesia.Setelah 1974, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia mengambil format bienial, yaitu diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Pada tahun selanjutnya namanya berganti menjadi Biennale Seni Lukis, hingga kemudian berganti lagi menjadi Biennale Jakarta pada 1993 (Biennale IX), dengan Kurator Utama Jim Supangkat.

Dalam kesempatan itu, untuk pertama kalinya karya-karya seni rupa kontemporer dengan beragam medium dipamerkan. Hal tersebut membuat ajang ini menuai kontroversi karena karya instalasi yang dipamerkan dianggap merusak pakem dan tatanan seni modern konvensional yang mengutamakan harmoni. Insiden ini nyatanya membuat Jakarta Biennale 1993 kerap dianggap sebagai titik balik dunia seni rupa Indonesia. Namun, lukisan kembali hadir sebagai karya dominan pada Biennale X dan XI yang diadakan tahun 1996 dan 1998.

Biennale Jakarta sempat mengalami kekosongan panjang akibat pergolakan sosial-politik dan pergantian kekuasaan pemerintah Indonesia pasca-1998. Ajang ini baru digelar kembali pada 2006 dengan judul Jakarta Biennale 2006 yang terdiri atas tiga pameran: “Beyond”, “Milestone”, dan “The Others”. Berikutnya, Jakarta Biennale 2009 “Arena” adalah yang pertama kali mengagendakan skala internasional dengan mengundang seniman-seniman luar negeri dan memberdayakan berbagai program partisipasi publik secara luas. Pada masa ini ruang pameran utama Jakarta Biennale berganti dari Taman Ismail Marzuki ke Galeri Nasional Indonesia, yang berlanjut pada Jakarta Biennale 2011 “Maximum City”.

Jakarta Biennale 2013 digelar dengan tajuk “Siasat” dan kembali ke Taman Ismail Marzuki. Namun, berbeda dengan sebelum-sebelumnya di mana pameran berlangsung di Galeri Cipta, JB 2013 mendobrak pakem berpameran dengan memakai pelataran parkir bawah tanah Teater Jakarta TIM sebagai ruang utamanya. Hal ini menandai eksperimentasi JB tidak hanya dalam pengaryaan perupa tapi juga pemberdayaan ruang publik Jakarta sebagai ruang pamernya.

Pada 2015 Yayasan Jakarta Biennale didirikan sebagai mitra Dewan Kesenian Jakarta dalam penyelenggaraan. Jakarta Biennale tahun itu mengusung “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang”, dan menghadirkan berbagai kegiatan budaya untuk dinikmati warga dalam rangka memahami kota sebagai daerah yang bergerak dan terus berubah. Ruang pameran utama mengambil tempat di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta Selatan. Dua tahun kemudian, “Jiwa”: Jakarta Biennale 2017 digelar, masih di Gudang Sarinah Ekosistem sepanjang November hingga Desember tahun tersebut. Pembahasan difokuskan pada persoalan-persoalan seputar dorongan dasar manusia yang menggerakkan berbagai rasa, indra, dan wawasan. Kendati terasa lebih personal, “Jiwa” berusaha  memperkaya dan memperluas pengalaman artistik serta daya kritis publik dalam memahami realitas kontemporer secara sublim dan kontemplatif.

Jakarta Biennale terus bergulir dan akan diselenggarakan kembali pada 2021 dengan tema “Esok: Membangun Sejarah Bersama”, meneruskan 46 tahun riwayat dan keterlibatannya dalam arus gelombang seni rupa Indonesia dan dunia.