The word ESOK is derived from Indonesian “besok” which means tomorrow. Whilst “besok” refers to the day after today, ESOK is inclined towards the future, with a strong sense of urgency; the immediate future.
ESOK is a hope, a shared hope; it is a prayer for all humans to be gratified instead of being repressed or tortured. We are all entangled in histories, personal or otherwise, in which human rights issues play a significant role. In this light, I urge you to join me in committing ourselves to propagate, facilitate, instigate and participate in various acts that might make a difference, certainly for ourselves.
ESOK is a commitment; for me, for us, for everyone, to act towards a radical social change. Let us insist that, in bearing these shared past experiences, we shall bond and lay the ground of our togetherness in building histories for a better society. Our base principles in pursuing this is to insist on improving the basic human rights as a currency over the planet. It is the struggle towards strengthening solidarity across borders, across genders, across histories to collectively progress towards a better future.
It is imperative that we think of ESOK as the critical battlefield against the current worsening humanitarian malaises for a better future generations. I honestly believe that it is important for an art institution like Jakarta Biennale to reposition itself in order to inspire, facilitate and concretely contribute towards radical social change, rather than merely being a platform for artistic expressions. In this line, we need to lay activism as our grounding vision.
What are the formulations of activism are we looking at? Try seeing yourself as a spectator. When you see an artwork in front of your eyes, you see something that changes your perspective, you can get a new vision of the world. A work of art is never burdened by expectations. An artwork may move your sympathy for its openness to interpretation. Meanwhile activism in art comes with clear objectives in the way in which it propagate, facilitate, instigate and participate in the process of a radical social change . By rooting art and ourselves in activism, let’s invest more on our sensibilities and our responsibilities to our comrades and our people.
ESOK is an intergenerational conversation that addresses contemporary issues caused by policies, actions, and systems inherited from our predecessors. In this way, ESOK is a reflection of the history of humanity from the here and now.
Let ESOK be the challenge for artists, for all of us, to find reason to charge the universe through the power of art. Every participant will share with us their tactics and production strategies, according to their own context and in their exploration of human rights issues.
I would like ESOK to incite the necessary changes that are built on the foundation of humaneness and humanities in order to benefit all.
Let’s begin our journey towards ESOK!
Cheers,
Dolorosa Sinaga, Artistic Director Jakarta Biennale 2021
Sejarah 46 tahun Jakarta Biennale berlanjut di 2021!
Sejak kelahirannya yang dibidani Dewan Kesenian Jakarta pada 1974 dengan nama Pameran Besar Seni Rupa, Jakarta Biennale telah berevolusi. Lahir dengan sebuah visi bahwa kota Jakarta membutuhkan ajang pencapaian seni rupa yang dipersembahkan untuk publik, Jakarta Biennale berkembang seiring arus perubahan publiknya dan masyarakat seni kota ini, juga dunia.
Pada 2019, program Jakarta Biennale yang terbaru sudah dipersiapkan dan seharusnya diselenggarakan akhir tahun 2020 ini. Dolorosa Sinaga, pematung dan aktivis kemanusiaan, dipilih sebagai Direktur Artistik Jakarta Biennale, dan bersama Direktur Eksekutif Farah Wardani menggagas tema “ESOK” untuk Jakarta Biennale yang akan dilaksanakan. Proses penggagasan kuratorial ESOK mengajak tiga kurator muda yang sedang aktif di kancah seni rupa kontemporer global, Grace Samboh dan Sally Texania dari Indonesia, dan Qinyi Lim dari Singapura. Proses ini dimulai pada Januari 2020.
Namun, memasuki Februari dan Maret 2020 pandemi Covid-19 melanda dunia dan khususnya dunia seni rupa Indonesia. Sebagai salah satu yang terdampak, Jakarta Biennale memutuskan menunda penyelenggaraan hingga akhir 2021.
Di tengah kesulitan dan ketidakpastian, pandemi dan penundaan ini tidak disikapi dengan kevakuman. Justru Jakarta Biennale berinisiatif untuk terlibat dalam upaya menjaga semangat berkesenian dan produksi pengetahuan lewat payung program Road to Jakarta Biennale sepanjang 2020, yang telah hadir dalam berbagai platform digital dan media sosial Dewan Kesenian Jakarta dan Jakarta Biennale.
Sepanjang 2020 pula, di tengah krisis dan terpisah jarak, dengan pimpinan Dolorosa para kurator tetap melanjutkan proses kuratorial lewat dialog reguler secara daring dan penelitian arsip – memanfaatkan sebaik-baiknya masa inkubasi yang diberikan oleh jeda selama pandemi demi mematangkan tema ESOK.
ESOK adalah bagaimana sejarah bersama dibangun melalui kekuatan seni; sebuah tantangan bagi para seniman untuk membawa wacananya masing-masing dengan target bersama dan berkontribusi dalam membentuk masyarakat dunia yang lebih baik di masa depan. Tantangan ini menyentuh beragam permasalahan kehidupan dunia hari ini: hak asasi manusia, lingkungan hidup, keberagaman, kesetaraan gender, diskursus kebudayaan, hingga disrupsi digital. ESOK akan mengeksplorasi berbagai strategi dan praktek seni melalui “aktivisme kuratorial” yang dihadirkan dalam berbagai medium, platform, ruang fisik dan virtual, serta arsip sebagai basis pengkaryaan dan produksi pengetahuan.
Di pengujung tahun ini, Dewan Kesenian Jakarta dengan bangga mengumumkan bahwa Jakarta Biennale 2021: ESOK akan dilaksanakan pada tanggal 21 November 2021–21 Januari 2022, dengan venue pameran utama Museum Nasional dan Museum Kebangkitan Nasional, dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Di Jakarta Biennale 2021, setengah abad warisan sejarah yang dibawa ajang seni rupa milik Jakarta dan dunia ini terus berlanjut untuk ESOK yang lebih baik.