Sebuah Kerjasama Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale

PANGGILAN TERBUKA: PROPOSAL KARYA “NORMAL BARU”

Krisis yang dipicu pandemi global COVID-19 memberikan tantangan baru, tak hanya bagi Jakarta dan Indonesia, tetapi juga seluruh dunia, akan sebuah masa depan di mana kemanusiaan menjadi begitu rentan akan hadirnya ancaman biologis, seperti virus dan mutasi-mutasi baru dalam ekosistem hidup manusia. Segala tantangan ini menyodorkan ranah peluang bagi generasi baru seni rupa kontemporer untuk berkontribusi sehubungan dengan persoalan-persoalan masyarakat pada dekade kedua milenium ini.

Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale berkolaborasi menyelenggarakan Panggilan Terbuka: Proposal Karya “Normal Baru”.

Situasi darurat Covid-19 hari ini tidak memungkinkan perupa untuk berpameran di ruang fisik. Maka, ruang virtual/daring menjadi saluran utama untuk tetap berekspresi dan mengomunikasikan karya kepada publik.

Pertanyaannya kemudian: apakah ruang virtual cukup untuk mengakomodir pengaryaan dan ekspresi perupa di depan publik? Apakah persoalannya sesederhana memindahkan karya atau dokumentasi karya ke medium digital dan mengunggahnya ke ruang maya? Bagaimana kita bisa mendefinisikan ruang maya dalam koridor makna politisnya yang baru? Kami melihat bahwa format digital dan ruang daring dengan segala kompleksitasnya sekarang ini justru bisa memberi berbagai kemungkinan baru bagi perupa kontemporer untuk memperluas cakrawala pengaryaannya.

Kami ingin menawarkan tantangan bagi para perupa kontemporer untuk bereksplorasi dengan medium daring dan digital berdasar pemikiran di atas, dengan ketentuan:

  1. Dukungan produksi karya sebesar Rp. 10.000.000,-/ karya untuk 30 proposal karya terpilih.
  2. Proposal karya harus disertai dengan pilihan pada salah satu tema dari ketiga Biennale. Pilihan tema adalah (uraian tema lihat di bawah):
  • Jakarta Biennale: Esok – Membangun Sejarah Bersama
  • Biennale Jogja: Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru
  • Makassar Biennale: Maritim – Sekapur Sirih
  1. Pengajuan proposal karya berisi:
  • Konsep berdasar pilihan tema, maks. 400 kata
  • Rencana eksekusi
  • Sketsa
  • CV singkat
  1. Medium dan strategi visual:
  • Menggunakan platform digital seperti video, audio, media sosial, aplikasi, yang nanti akan diunggah ke ruang maya
  • Menekankan aspek kolaborasi, eksperimentasi, interdisiplin
  • Terbuka akan penggunaan medium dan jaringan nonfisik lainnya seperti: radio, televisi, dan lain-lain
  • Karya harus siap unggah/tayang
  1. Terbuka untuk umum, khusus Warga Negara Indonesia. Pengajuan proposal atas nama individu atau kolektif (yang dihitung sebagai satu proposal). Satu pelamar hanya dapat mengajukan satu proposal.
  2. Proposal diajukan ke email: karyanormalbaru@gmail.compaling lambat 12 Juni 2020.
  3. Penting: cantumkan dengan jelas di subjek email kode pemilihan tema Biennale sebagai berikut:

Kode tema Jakarta Biennale: JB-judul proposal-nama

Kode tema Biennale Jogja: BJ-judul proposal-nama

Kode tema Makassar Biennale: MB-judul proposal-nama

  1. 30 proposal karya yang terpilih akan diumumkan 20 Juni 2020. Pameran karya secara daring dimulai 1 Agustus 2020.
  2. Email karyanormalbaru@gmail.comhanya ditujukan untuk penerimaan proposal. Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai tema dan Biennale yang bersangkutan, harap layangkan pertanyaan ke email admin masing-masing penyelenggara:

Jakarta Biennale: info@2021.jakartabiennale.id

Biennale Jogja:  office.biennalejogja@gmail.com

Makassar Biennale: sekretariat@makassarbiennale.org

URAIAN TEMA JAKARTA BIENNALE, BIENNALE JOGJA, DAN MAKASSAR BIENNALE:

  1. Jakarta Biennale: ESOK – Membangun Sejarah Bersama

Memasuki dekade kedua milenium baru, gejolak perubahan semakin deras: dari pergeseran politik global, polarisasi massa, isu keberagaman, disrupsi digital, perubahan iklim, hingga pandemi global Covid-19. Kita dipaksa menemukan solusi permasalahan dunia dan secara bersamaan menguji solidaritas kemanusiaan.

Krisis yang dipicu pandemi global COVID-19 memberikan tantangan terbaru, tak hanya bagi Jakarta dan Indonesia, tetapi juga seluruh dunia, akan sebuah masa depan di mana kemanusiaan menjadi begitu rentan akan hadirnya ancaman biologis, seperti virus dan mutasi-mutasi baru dalam ekosistem hidup manusia. Segala tantangan ini menyodorkan ranah peluang bagi seni rupa kontemporer generasi baru untuk berkontribusi sehubungan dengan persoalan-persoalan masyarakat hari ini.

Pada pergelaran 2021, Jakarta Biennale mengusung tema “ESOK—Membangun Sejarah Bersama” Pokok pikiran ini menyentuh beragam permasalahan kehidupan seperti yang telah disebut di atas.

Melalui pembacaan ulang sejarah dan tatapan masa depan, maka tawaran siasat dan eksperimentasi seni rupa menyandang urgensi dalam pencarian dan pemaknaan “ESOK”.

Mengarak harapan untuk ESOK, Jakarta Biennale bermutasi menyodorkan kebaruan masa depan. Ketika pandemi kelak berlalu, sejarah baru akan dibangun bersama, pada ESOK yang dinanti.

  1. Biennale Jogja

Cur(e)ating the Earth, Shifting the Center 

Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru

Salah satu tulisan tentang pandemi yang paling banyak dirujuk, karena melihat persoalan kemanusiaan dan ekses sistem kapitalis represif, adalah teks yang ditulis Arundhati Roy, “The Pandemi is a Portal”. Tulisan itu dengan jelas menggarisbawahi kenyataan bahwa persoalan pandemi adalah perkara relasi kuasa yang tidak seimbang, penguasaan sumber daya alam, dan ekonomi yang tidak berpihak pada yang terpinggir. Merefleksikan pemikiran Roy, kami melihat bahwa pandemi adalah sebuah wajah krisis kemanusiaan yang lebih besar, terutama berkaitan dengan relasi manusia dengan alam. Slogan tentang perubahan iklim selama puluhan tahun tidak benar-benar berhasil memaksa kita mengubah cara berelasi dengan bumi, bahkan dewasa ini kita mengeksploitasi semakin habis-habisan. Pada masa pandemi, bumi seolah mengambil waktu merawat dirinya sendiri, sembari mengingatkan manusia untuk berpikir tentang kehidupan masa depan.

“Menggeser Pusat” adalah salah satu pemikiran Biennale Jogja Equator selama satu dasawarsa terakhir. Dalam konteks pandemi, kita melihat bagaimana gagasan “Pusat” dan “Pinggiran” dipertanyakan secara nyata. Negara-negara Asia menunjukkan mereka bisa menjadi kasus-kasus keberhasilan penanganan pandemi dan justru memberikan dukungan logistik besar untuk negara yang tadinya dianggap lebih berkuasa. Ada kompleksitas geopolitis yang bergerak. Dalam konteks lebih luas, “Menggeser Pusat” juga berarti melihat alam sebagai “Pusat Kehidupan”, tidak lagi melihat manusia sebagai poros—pascaantroposentrisme.

Bagaimana kita merefleksikan gagasan-gagasan ini dalam praktik kesenian? Kami mengundang para seniman untuk memikirkan kembali praktik seni dalam upaya merawat bumi dan melihat alam sebagai pusat hidup. Gagasan kurasi (dari kata to cure, ‘menyembuhkan/merawat’) menjadi relevan dalam tindakan nyata untuk membangun ruang hidup bersama yang tidak hanya berkeadilan sosial, tetapi juga berkeadilan alam.

  1. Makassar Biennale – Maritim: Sekapur Sirih

Para cerdik cendekia mengakui bahwa semua sistem dunia, terutama sistem politik dan ekonomi, memang tak berkutik tatkala wabah Covid-19 merebak. Selama rentang waktu itu pula, merespons wabah baru, masyarakat tampak sigap membuka memori obat-obatan yang turun-temurun diwariskan dan dipraktikkan di lingkungan terkecil mereka.

Fenomena tersebut hanya satu dari sekian cara warga menanggapi wabah. Ini sekaligus tanda bahwa sejak lama, berbekal ragam pengetahuan warisan, warga mampu bertahan menghadapi guncangan yang datang.

Maka, Makassar Biennale membuka ruang urun bagi dunia kesenian untuk meresponsnya. Dengan tetap berfokus pada pertalian ekspresi lanskap maritim, Makassar Biennale 2021 menetapkan subtema “Sekapur Sirih”.

“Sekapur Sirih” adalah istilah generik untuk sajian pembuka saat menjamu tamu dalam kebudayaan Nusantara. Sebutan ini juga menjadi pintu masuk seni rupa untuk menjelajahi simbol kekayaan dunia pengobatan Indonesia yang ditumbuhkan oleh alam untuk manusia (fitofarmaka).

Program kolaborasi ini didukung oleh SAM Art Fund.